Rabu, 05 Juni 2013

DISTRIBUSI SEBARAN & DAERAH FISHING GROUND IKAN TUNA DI SELAT MAKASSAR.

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Penentuan Fishing Ground Ikan Tuna di Selat Makassar

Oleh : Asep Irwan, Universitas Padjadjaran

ABSTRAK Pemanfaatan data inderaja dengan melihat beberapa parameter fisika, kimia, dan biologi perairan, khususnya konsentrasi klorofil yang dilakukan di Selat Makassar. Analisis penggunaan data citra satelit menggunakan metode spasial data dari satelit NASA Modis Aqua, sedangkan beberapa parameter biofisik-kimia perairan lainnya digunakan analisis statistik dengan menggunakan uji t untuk penentuan zona fishing ground. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa parameter biofisik-kimia perairan pada permukaan sangat kompleks dikarenakan ada pengaruh masukan dari daratan, aktifitas plankton dan biota laut, serta pergerakan massa air. Untuk data klorofil atau zat hijau diperoleh dari SeaWIFS, data ini digunakan untuk mendeteksi suatu front yang dapat dijadikan indikasi bahwa daerah tersebut tempat berkumpulnya ikan tuna. Konsentrasi klorofil merupakan parameter oseanografi yang sangat penting penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground) pada ikan tuna. Distribusi ikan tuna di perairan Indonesia memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki penyebaran jenis-jenis tuna yang sangat penting artinya bagi usaha penangkapan ikan. Kata kunci : fishing ground, parameter biofisik-kimia perairan, klorofil (SeaWIFS Modis Aqua), ikan tuna.

Pendahuluan Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Ikan tuna merupakan komoditi penting bagi Indonesia, karena merupakan hasil laut penyumbang devisa terbesar setelah udang. Lautan Indonesia kaya akan ikan tuna, namun tingkat pengusahaan tuna di negeri kita masih kecil. Menurut informasi data Widodo (1998), rata‑rata tingkat pengusahaan tuna di perairan Indonesia baru 36,4% dari potensi yang ada. Berarti potensi yang 63,6% masih belum termanfaatkan. Salah satu kendala dalam berburu tuna adalah lemahnya informasi fishing ground baik secara spasial maupun temporal. Kondisi ikIim global yang berubah‑ubah tidak menentu semakin menyulitkan dalam menentukan fishing ground tuna. Sehingga perburuan tuna menjadi kurang efektif, mungkin boros waktu dan bahan bakar tetapi hasilnya kurang optimal. Hat ini menjadi masalah serius dalam dunia industri penangkap tuna dewasa ini. Salah satunya pada daerah perairan selat Makassar yang memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup beragam. Selain itu selat Makassar memiliki pengaruh besar dari Arlindo (Arus Lintas Indonesia) yang merupakan bagian penting dalam sirkulasi samudra dunia dalam penghantaran panas (heat). Dalam kondisi normal, di perairan Pasifik di sebelah Utara Irian terdapat kolam Air Hangat (Warm Water Pool) yang disebabkan oleh menumpuknya air yang terbawa oleh Khatulistiwa Selatan karena hembusan Angin Pasat (trade winds) di Pasifik. Massa air yang terangkut oleh Arlindo dipengaruhi oleh adanya El Niño dan La Niña. Dampak El Niño dan La Niña terhadap kehidupan di laut Nusantara belum banyak dikaji. Kawasan selatan Selat Makassar sangat dipengaruhi oleh monsoon dimana Arlindo berbelok ke Laut Jawa pada MT, dan berbelok ke Laut Flores dan Laut Banda pada MB. Di Laut. Halmahera keluar ke Samudra .Pasifik pada MB dan masuk dari Samudra .Pasifik pada MT. Hanya di beberapa tempat mengalir ke satu arah terus menerus pada kedua musim, yaitu ke selatan di utara dan tengah Selat Makassar, ke barat-daya di sepanjang pantai selatan Pulau Timor dan ke arah Samudra. Tentunya hal ini membawa pengaruh besar terhadap keberadaan gerombolan ikan tuna. Potensi tuna di perairan Indonesia adalah 780.040 ton (Dahuri, 2001). Walaupun secara nasional pemanfaatan sumberdaya tuna masih dapat dilakukan, namun tingkat pemanfaatannya tidak merata di seluruh perairan Indonesia. Sumberdaya tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar di perairan Indonesia,menye bar di perairan lepas pantai. Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala ke atas, karena memerluka inverstasi yang lebih besar. Sumberdaya tuna tidak tampak secara langsung oleh mata manusia. Perbedaan media ini dapat diantisipasi dengan mempelajari tingkah laku ikan sasaran dan penggunaan alat bantu pendeteksi. Teknologi inderaja saat ini, sudah dapat mengidentifikasi daerah penangkapan tuna dilihat antara lain dari parameter suhu permukaan laut dan kesuburan perairan sehingga dapat dibuat peta fishing ground tuna mata besar (Thunnus obesus). Tuna mata besar (Thunnus obesus) adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11-28 0C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18-23 0C. Selain itu juga tuna mata besar memiliki kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya. Penentuan daerah penangkapan ikan tuna menggunakan data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika, kimia, dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (upwelling), ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (seafront) dan perkiraan kandungan klorofildi suatu perairan. Hasil pengamatan tersebut, dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schoaling) tuna berdasarkan koordinat lintang dan bujur.

Metodologi Penelitian ini dilaksanakan pada 29 Juli 2011 dengan pengambilan data observasi dilakukan dengan penggunaan data citra satelit dari NASA Modis Aqua serta beberapa parameter biofisik-kimia lainnya sebagai indikasi tambahan. Penggunaan data suhu permukaan dan konsentrasi klorofil diambil dari data SeaWIFS, sedangkan data parameter biofisik-kimia diambil dari data observasi pada bulan april 2010 oleh Balitbang KP-KKP. Pengambilan data modis aqua dilakukan dengan mendownload data dari situs seadas (ocean color) yang menyediakan data spasial untuk klorofil dan suhu permukaan. Kemudian disajikan dalam bentuk peta untuk melihat zona fishing ground yang terdapat di perairan selat makassar Lampiran (Gambar 1). Pengolahan data diolah dengan menggunakan software penginderaan jauh yaitu ArcGis 9.3 sedangkan untuk beberapa parameter lainnya digunakan dengan melihat sebaran spasial dari karakteristik parameter itu sendiri yang diolah dalam software Surfer 9. Pola sebaran parameter biofisik-kimia perairan kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak MINITAB versi 15. Perangkat lunak ini akan memperlihatkan perbedaan nyata dari beberapa parameter biofisik-kimia untuk menentukan zona daerah penangkapan atau fishing ground dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji t (Steel dan Torrie, 1980; Walpole, 1990).

Hasil Dan Pembahasan Dari hasil pengamatan data yang sudah diolah untuk parameter biofisik-kimia perairan selat Makassar terlihat bahwa sebaran antar beberapa parameter biofisik-kimia memperlihatkan nilai korelasi antar parameter sehingga terlihat zona penangkapan ikan tuna jenis mata besar (Thunnus Obesus). Parameter kimia oseanografi khususnya sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup biota laut maupun lainnya, terlihat pada (Gambar 2) yang memperlihatkan bahwa selat Makassar memiliki kemerataan keanekaragaman parameter biofisik-kimia yang cukup beragam sebagai berikut: Gambar 1. Parameter biofisik-kimia perairan di selat Makassar cukup beragam dan sangat penting bagi seluruh organisme yang ada di laut. Pada jenis ikan tuna mata besar sangat banyak ditemukan di perairan tropis khususnya di selat Makassar. Umumnya tuna mata besar dapat tertangkap di kedalaman 0-400 m. Salinitas perairan yang disukai ikan tuna mata besar berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Habitat ikan tuna mata besar di daerah perairan dengan suhu dari 13o-29 o c, namun batas suhu optimumnya antara 17 o C dan 22 o C. Variasi yang terjadi berhubungan erat dengan musim dan perubahan iklim dari suhu permukaan dan termoklin. Analisis korelasi sebaran parameter biofisik-kimia perairan yang terdapat di selata Makassar menyatakan bahwa pada daerah tersebut memiliki potensi banyak ikan tuna yang sangat banyak ragam yang harus terus di manfaatkan dan dilestarikan. Selat Makassar merupakan daerah potensi ikan tuna terbesar yang ada di Sulawesi tengah disamping ada teluk tomini dan teluk tolo. Berdasarkan hasil aplikasi dari data Modis Aqua terlihat penyebaran klorofil-a yang menjadi indikator adanya gerombolan ikan tuna besar di selat Makassar. Data SeaWiFS memperlihatkan distribusi klorofil di wilayah pantai dan laut, sehingga sesuai untuk dipakai menentukan potensi lokasi ikan. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan Presetiahadi, 1994). dalam ke lapisan permukaan (Valiela, 1984 dalam Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim, disamping itupula juga dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia (Arlindo). Berdasarkan penelitian Nontji (1974) dalam Presetiahadi, (1994) nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg/m3, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg/m3) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim barat (0,16 mg/m3). Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air /upwelling (Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan pengaruh sungai-sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan). Berdasarkan sebaran spasial konsentrasi klorofil yang ada di selat Makassar memperlihatkan ada beberapa daerah titik yang memiliki konsentrasi nilai klorofil yang sangat tinggi tentunya ini akan terlihat jelas untuk penentuan daerah fishing ground ikan tuna khususnya ikan tuna mata besar (Thunnus Obesus). Untuk sebaran spasial klorofil-a dapat dilihat pada (Gambar 3). Gambar 2. Peta Sebaran Klorofil-a Selat Makasar Terlihat jelas sebaran konsentrasi nilai klorofil di selat Makassar menunjukan terdapat potensi sumber daya laut yang sangat tinggi. Gambar di atas memperlihatkan korelasi sebaran klorofil sehingga dapat dikatakan pada daerah yang tinggi nilai konsentrasi klorofil-a nya terdapat banyak ikan tuna yang terdapat disana. Pada daerah Sulawesi bagian tengah terlihat nilai klorofil sangat jelas tinggi. Sulawesi Tengah adalah satu-satunya provinsi di Kepulauan Sulawesi yang memiliki 3 perairan sekaligus dan hal ini tidak dimiliki oleh provinsi-provinsi lainnya di Kepulauan Sulawesi, perairan-perairan itu terdiri atas Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar/Laut Sulawesi. Jika dipandang dari keberadaan 3 wilayah perairan tersebut maka seharusnya Provinsi Sulawesi Tengah adalah termasuk daerah yang mengandalkan sumberdaya hasil perikanan sebagai aset pendapatan daerah maupun nilai ekonomis ikan tuna nya sendiri. Dari ketiga perairan tersebut luas total perairan Sulawesi Tengah yaitu 120.986 km2 atau sekitar 11 kali dari luas perairan provinsi tetangga Gorontalo yang hanya sekitar 10.500 km2. Panjang garis pantai Sulawesi Tengah sekitar 4.013 km dengan jumlah pulau sebanyak 150 buah (Bappeda Sulteng, 2002).

Kesimpulan

1. Penentuan daerah penangkapan ikan tuna dengan data satelit modis aqua yang bisa di download di www.seadas.com 2. Hasil analisis uji t dengan melihat lingkaran korelasi menunjukan adanya sebaran beberapa parameter biofisik-kimia peraiaran yang cukup beragam khususnya di selat Makassar. 3. Dari hasil pengolahan data klorofil-a terlihat ada beberpa zona yang dapat dijadikan penangkapan ikan tuna khususnya ikan tuna mata besar yang paling dominan di selat Makassar. 4. Pengetahuan mengenai faktor oseanografi serta tingkah laku ikan tuna mata besar (Thunnus Obesus) sangat penting untuk menginterpretasikan citra satelit yang digunakan dalam pembuatan peta fishing ground tuna.

Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan (BALITBANG KP) Kementerian Kelautan Perikanan yang telah menyediakan data sekunder parameter biofisik-kimia di selat Makassar. Serta tak lupa kedua orang tua penulis yang selalu membikan dukungan baik moril atau pun materil, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Daftar Pustaka Dahuri, R., 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan dalam rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Pidato dalam rangka Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB tanggal 25 Agustus 2001. Bogor. Nonjti, A. 1983. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Robinson, I. S. 1983. Satelit Observations of Ocean Colour, Phil. Trans. Roy. Soc. London, A309, 415-432. Supangat A, Susanna. “Pengantar Oseanografi”. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Sve Svedrup HU, Johnson MW, Flemming RH. 1942. The Oceans. Their Physics, Chemistry and General Biology.
Kelautan dan Perikanan dalam rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Pidato dalam rangka Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB tanggal 25 Agustus 2001. Bogor. Nonjti, A. 1983. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Robinson, I. S. 1983. Satelit Observations of Ocean Colour, Phil. Trans. Roy. Soc. London, A309, 415-432. Supangat A, Susanna. “Pengantar Oseanografi”. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Sve Svedrup HU, Johnson MW, Flemming RH. 1942. The Oceans. Their Physics, Chemistry and General Biology. Englewood Cliff. Prentice Hall. Inc. New york.
























Published with Blogger-droid v2.0.10